tβθä9θà)s?
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat sedang kamu dalam keadaan mabuk, sampai kamu mengerti apa yang kamu ucapkan !
(QS An Nisa:43)
Memahami Bacaan Shalat
•Memahami arti kata per kata tiap bacaan
•Bacaan boleh berbeda, asal tahu dasarnyadan mengerti artinya
•Saling menghormati perbedaan pendapat
•Bacaan shalat Nabi bermacam-macam, disini hanya ditampilkan 1 macam saja beserta perawinya
Memahami bacaan shalat itu mudah…
Bahkan sangat mudah, hafalkan sekarang juga!
•Memahami bacaan shalat itu penting…
Jauh lebih penting dari belajar bahasa apapun.
Lupakan belajar yang lain jika belum dapat memahami bacaan shalat. Inilah yang perlu didahulukan!
•Memahami bacaan shalat adalah urgent…
Agar shalat tidak terasa hampa, sia-sia.
•Memahami bacaan shalat itu harus!
Agar shalat lebih berarti, lebih menyenangkan, lebih khusyu’dan lebih bermanfaat
T a k b i r a t u l I h r a m
A L L A H
Maha Besar
D o a I f t i t a h
ا
Seorang shahabat membaca doa ini di awal shalatnya, maka Rasul SAW bersabda: “Aku merasa kagum dengannya, maka terbukalah pintu-pintu langit karena doa tersebut”.(HR Muslim)
(HR Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Hibban, Ahmad, Thabrani)
Archive for 2010
.
Konsep Pendidikan Islam
.
Pendidikan Islam bermaksud memberi pendidikan kepada anak-anak atau murid-murid/pelajar berdasarkan ajaran Islam. Mendidik juga bermaksud mengasuh, menjaga dan membelai supaya seseorang anak itu menjadi baik. Baik di sini tentulah baik pada pandangan Islam. Ilmu pengetahuan yang diberi itu ialah suatu wadah dalam pendidikan. Justeru ilmu belum tentu mendidik, dan memberi ilmu juga belum tentu lagi memberi pendidikan.
Mendidik ialah kata-kata nasihat supaya murid melakukan sesuatu yang baik. Menasihati murid supaya melakukan suruhan Tuhan seperti solat, beradab dengan ibu bapa dan guru adalah pendidikan. Menasihati murid supaya belajar dengan baik dan tekun adalah pendidikan. Menjaga kebersihan diri, bilik darjah, kawasan sekolah, kantin, padang adalah tuntutan Islam. Kekemasan diri, bilik darjah, kawasan rumah, juga tuntutan Islam. Menasihati pelajar atau murid melakukan semua ini ialah pendidikan Islam namanya.
Berdasarkan kepada takrifan ini bermakna, tugas pendidikan Islam bukan terletak kepada ibu bapa dan guru agama sahaja, malah kepada semua orang Islam. Kalau di rumah, ibu bapa dan keluarga itu yang bertanggungjawab memberi pendidikan Islam. Manakala di sekolah pula, semua guru yang beragama Islam adalah bertanggungjawab memberi pendidikan Islam kepada semua murid Islam. Guru agama atau istilah sekarang guru Pendidikan Islam, lebih luas tanggungjawabnya; pertama menyampaikan pengetahuan Islam dan kemudian mendidik dengan pendidikan Islam. Masyarakat pula bertanggungjawab untuk menghidupkan budaya Islam di dalam masyarakat. Ini termasuklah percakapan, pergaulan, permainan, urusan harian dalam hal ekonomi, politik, sosial, teknikal dan sebagainya.
Kalau di sekolah guru mengajar supaya pelajar melakukan sesuatu yang baik atau sesuatu suruhan Tuhan, seperti solat, tutup aurat dan sebagainya, manakala dirumah ibu bapa tidak menunaikan solat dan tidak menutup aurat menurut kehendak Islam, bermakna ibu bapa tidak mendidik anaknya dengan pendidikan Islam dalam aspek tersebut. Sama juga dengan sekolah. Jika guru Pendidikan Islam mengajar dan mendidik pelajarnya dengan perkara-perkara yang dituntut oleh Islam seperti di atas, tetapi guru lain tidak melakukannya, bermakna guru Islam tidak mendidik pelajarnya yang beragama Islam supaya menghayati ajaran Islam. Ini bermakna, guru tersebut tidak mendidik pelajarnya dengan pendidikan Islam.
Demikian jugalah dengan masyarakat. Jika masyarakat tidak membanteras segala perkara yang bertentangan dengan ajaran Islam yang wujud dalam masyarakat tersebut, sebaliknya menganjurkannya pula, bermakna masyarakat tersebut tidak mendidik anak buahnya dengan pendidikan Islam, malah sebaliknya meruntuhkan Islam. Kalau inilah yang berlaku, pendidikan Islam yang dilakukan oleh guru Agama dalam bilik kelas itu tidak akan berkesan. Dengan demikian, jika berlaku sesuatu yang tidak diingini dalam masyarakat, seperti keruntuhan akhlak dan sebagainya, maka jangan disalahkan orang lain. Kerana itu yang dikehendakai oleh ibu bapa, guru dan masyarakat. Setiap orang akan menegakkan benang basahnya dengan mengatakan ia betul dan orang lain yang salah seperti cerita bangau oh bangau, tetapi kita lupa, bahawa setiap orang akan menjawabnya di hadapan Tuhan.
Malah, dalam pengajaran Pendidikan Islam itu sendiri, jika guru tidak hati-hati, guru hanya menyampaikan maklumat atau pengetahuan Islam sahaja, guru berkenaan tidak mendidik dengan pendidikan Islam. Misalnya, guru Pendidikan Islam atau guru agama mengajar pelajarnya dengan tajuk Syarat Wajib Jumaat. Di akhir pelajaran pelajarnya dapat menyebut syarat-syarat tersebut, maka ini baru tercapai objektif pelajaran. Guru tersebut, sebenarnya belum lagi mendidik pelajarnya dengan pendidikan Islam. Pendidikan itu ialah kata-kata nasihat supaya pelajar menghayati ajaran Islam.
Kalau dalam tajuk ini, guru hendaklah menasihati pelajarnya (lelaki) supaya menunaikan solat Jumaat. Lebih baik lagi, guru mengiringi pelajar ke masjid. Dan sebelum ke masjid, guru patut juga mendidik pelajarnya. Iaitu menasihatkan pelajar supaya jangan bising di masjid. Duduk dengan tertib di dalam masjid dan membaca apa-apa zikir yang baik, seperti membaca al-Quran atau selawat ke atas nabi. Jika ini berlaku, maka barulah dikatakan mendidik dengan pendidikan Islam. Demikianlah seterusnya dalam tajuk-tajuk yang lain, atau pun pelajaran-pelajaran yang lain yang bukan mata pelajaran agama. Bagi guru yang kreatif, ia boleh memasukkan pendidikan Islam melalui pelajarannya.
Ini bermakna, bahawa pendidikan Islam itu mempunyai dua maksud. Pertama bermaksud pendidikan Islam khusus. Iaitu yang merangkumi pelajaran tradisional seperti aqidah, ibadah, tafsir, sejarah, hadis dan sebagainya. Kedua ialah pendidikan Islam umum, yang mana ia merangkumi semua kata-kata nasihat yang boleh membangunkan potensi yang ada pada setiap pelajar melalui semua mata pelajaran sekolah serta melewati segala aspek hidup. Inilah yang dikatakan pendidikan Islam.
cara pandang seseorang
.
Sikap hidup seseorang sangat ditentukan oleh cara pandang mendasar yang dimilikinya tentang kehidupan. Sebagai seorang muslimah, yang telah meyakini aqidah Islam, sudah seharusnya ia senantiasa memiliki kesadaran penuh bahwa keberadaan dan eksistensi dirinya, alam semesta yang ditempatinya serta kehidupan yang dijalaninya di dunia ini bukan terjadi dan berjalan dengan sendirinya. Semua itu adalah ciptaan Allah SWT. Dia-lah sebagai “Subyek Pengendali” segala sesuatu yang berlangsung di alam semesta ini.
Dengan demikian seorang muslimah akan senantiasa menyadari bahwa posisinya di dunia ini adalah sebagai seorang hamba yang tunduk pada aturan Allah SWT sebagai Khaliqnya. Selanjutnya ia pun meyakini bahwa hanya Allah SWT yang harus ditaati dan disembah, dan hanya keridloan-Nya lah yang harus digapai dalam kehidupan ini.
Hal ini sesuai dengan kalimat syahadat yang menjadi ikrar setiap muslim (maupun muslimah) yang dibacakan dalam setiap sholatnya:
“Tidak ada Tuhan (yang disembah) kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah.“
Muhammad ismail dalam kitabnya “al-Fikrul al-Islami” menjelaskan bahwa arti Lâillâha illallah baik secara lughowi maupun syar’i adalah Lâ ma’budda illallah (Tidak ada yang disembah kecuali allah). Artinya, seorang muslim/muslimah) yang telah mengikrarkan kalimat syahadat di atas harus mewajibkan dirinya untuk melakukan ibadah hanya kepada Allah semata, tidak kepada yang lain. Cara pandang khas ini merupakan cara pandang yang dilandasi oleh aqidah islamiyah. Demikian juga, seluruh pemikiran-pemikiran cabang yang ada saat ini pun harus dibangun di atas landasan aqidah Islamiyah.
Aqidah Islam Sebagai Pijakan Berfikir dan Bertindak
Ketika seorang muslimah mengambil Islam sebagai Aqidahnya maka sudah seharusnya ia senantiasa menjadikan Aqidah Islamiyah sebagai standar kehidupannya. Ia pun harus memahami bahwa karakter aqidah islam adalah aqidah ruhiyah dan aqidah siyasiyah. Sehingga ia senantiasa menjadikan aqidah Islamiyah sebagai pijakan berfikir dan bertindak.
Tak satu pun pemikiran-pemikiran yang ia lahirkan kecuali berangkat dan berstandar hanya pada aqidah Islamiyah. Demikian juga ketika bertindak atau bersikap maka tak satu pun tindakan atau pun sikap yang ia tunjukkan kecuali berstandar pada hukum syara’ yang terpancar dari aaqidah islamiyah tersebut.
Seorang muslimah tidak akan merasakan dirinya hidup kecuali di atas pijakan Aqidah islamiyah. Bahkan sulit baginya untuk melepaskan diri dari ikatan Aqidah Islamiyah. Dengan demikian ketika nilai-nilai asing datang dan berusaha menyusup ke alam kehidupannya maka ia tiada ragu dan sungkan untuk menolaknya bahkan semaksimal mungkin berusaha mengikis “virus” tersebut dari kehidupannya.
Tak pernah sedikit pun terlintas dalam benaknya untuk mengambil atau mengakomodasi nilai-nilai asing termasuk di dalamnya adalah nilai-nilai demokrasi. Karena ia menyadari bahwa nilai-nilai tersebut adalah racun yang membahayakan bagi diri dan umatnya. Ia menyadari bahwa jika mengambil apalagi meminum racun tersebut sama saja dengan melakukan upaya bunuh diri.
Seorang muslimah tak pernah sedikitpun tergiur oleh bujuk rayu pemikiran-pemikiran asing yang bermaksud menyeretnya. Ia tak pernah bergeming sedikit pun oleh bujukan materi ataupun manfaat yang disuguhkan dihadapannya. Untuk meneguk setetes pun, tak kuasa ia melakukannya. Karena ia sadar bahwa semua itu hanyalah tipu daya yang akan membawa dirinya pada jurang kesengsaraan dan kesesatan. Sehingga ia semakin berusaha untuk memperkuat aqidahnya. Ia pun tak melupakan apa yang telah menjadi firman Allah SWT dalam Qs. al-Baqarah [2]: 256 :
“…Sesungguhnya telah jelas antara jalan yang benar dan jalan yang salah. kArena itu barangsiapa yang ingkar pada thaghut dan beriman kepada Allah maka sesungguhnya ia telah berpegang pada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus…”
Dalam kondisi apapun seorang muslimah yang menjadikan aqidah Islam sebagai pegangan hidupnya akan tetap pada pendirian untuk mengambil hanya satu standar nilai dalam hidupnya. Sekalipun ia harus mengorbankan harta, jiwa dan raganya ia akan tetap memilih jalan hidup yang hakiki. Baginya hidup yang hakiki bukan untuk memperoleh materi ataupun manfaat, akan tetapi hidup yang hakiki adalah meraih kemuliaan di sisi Al-Khaliqnya. Ia pun sadar bahwa satu-satunya jalan untuk meraih kemuliaan hanyalah dengan menjadikan Aqidah islamiyah sebagai standar baku dalam kehidupannya.
Pada saat seorang muslimah menjadikan aqidah islamiyah sebagai pijakan berfikir dan bertindak itulah dikatakan ia telah menemukan jatidirinya, sebagai sosok pribadi muslim. Yakni sosok kepribadian yang khas, yang murni dan istimewa, tidak tercampur sedikit pun oleh nilai-nilai asing.
Begitulah seharusnya seorang muslimah. Ia senantiasa memegang idealisme Islam dengan kuat. Ia pun optimis bahwa idealisme Islam yang mampu memecahkan seluruh problematika kehidupan manusia.
Acuh Tak Acuh bukan Tabiatnya
Bukan tabiat seorang muslimah hidup dengan konsep individualisme. Sebaliknya ia senantiasa menempatkan dirinya menjadi bagian dari umat islam yang lain. Karenanya ia tak lupa dengan apa yang disabdakan oleh Rasulullah Saw:
“Kamu akan melihat orang-orang yang beriman saling berkasih sayang, saling mencintai, saling mengasihi yaitu bagaikan satu tubuh. Apabila satu anggota saja sakit, maka tertariklah bagian anggota yang lain ikut sakit dengan tidak dapat tidur dan badan panas.” [HR. Bukhari Muslim].
“Barangsiapa yang tidak memperhatikan kepentingan kaum muslimin, maka ia bukanlah termasuk di antara mereka. Dan barangsiapa yang tidak berada di waktu pagi dan petang selaku pemberi nasehat bagi Allah dan rasulNya, bagi kitabNya, bagi pemimpinnya dan bagi umumnya kaum muslimin, maka ia bukanlah termasuk di antara mereka.” [HR. ath-Thabrani].
Oleh karena itu seorang muslimah tak akan pernah tinggal diam ketika melihat nilai-nilai asing yang membahayakan bagi saudara-saudaranya (umat Islam yang lain). Ia tak bisa berdiam diri melihat fakta yang demikian. Ia akan senantiasa berusaha menyadarkan umat islam untuk senantiasa waspada terhadap nilai-nilai asing yang membahayakan bagi kehidupan mereka.
Ia bagaikan pembawa pelita penerang jalan, pembawa penjelas antara yang haq dan yang bathil, sebab ia adalah generasi penerus penyampai risalah Rasulullah SAW. Ia menjadi penuntun orang-orang yang meminta petunjuk ke arah jalan kebenaran. Dirinya sarat dengan bejana-bejana ilmu dan aqalnya ibarat khazanah-khazanah hikmah. Ia tak akan pernah merelakan masyarakat (umat Islam) dijauhkan dari nilai-nilai Islam. Ia pu tak rela masyarakat berada di bawah pengaruh orang-orang tak berilmu yang dengan mudah memberikan fatwa untuk menerima kebathilan. Dengan demikian keberadaan dirinya senantiasa dibutuhkan umat Islam.
Untuk menjadi muslimah yang demikian tentulah sangat tidak cukup hanya menjadikan Aqidah Islamiyah sebatas ucapan lafadz-lafadz. Akan tetapi haruslah berusaha menjadikan aqidah tersebut sebagai standar baku bagi kehidupannya dan memahami konsekuensinya. Sehingga ia pun memiliki kepedulian yang tinggi untuk memelihara nilai-nilai Islam yang ada dalam dirinya dan nilai-nilai Islam yang ada dalam diri umat Islam pada umumnya.
Nilai-nilai asing yang membahayakan dirinya ia pahami membahayakan pula bagi uamatnya. Demikian pula nilai-nilai asing yang membahayakan umatnya ia pahami pula membahayakan bagi dirinya. Hingga ia pun senantiasa memiliki kesadaran yang tinggi untuk memelihara diri dan umatnya dari kontaminasi racun-racun dunia. Ia pun dengan lantang akan mengatakan racun adalah racun, madu adalah madu. Kebenaran adalah kebenaran, kebathilan adalah kebathilan. Tak pernah ia membungkus kebathilan dengan sesuatu agar tampak baik dihadapan umat Islam. Bahkan tanpa segan membongkar keburukan nilai-nilai asing yang membahayakan umatnya dengan sejelas-jelasnya, untuk kemudian menunjukkan al haq yang sesungguhnya, tanpa ragu dan bimbang. Demikianlah seharusnya seorang muslimah bersikap peduli terhadap umat Islam. Kepeduliannya terhadap umat islam adalah kepeduliannya terhadap islam sebagai dien yang dianutnya.
Perjuangan Hakiki Muslimah Bersama Umat
Ketika kaum muslimin telah menyadari akan esensi aqidah Islam yang dipeluknya, maka muslimah bersama ummat bersatu dalam barisan perjuangan yang hakiki. Yakni perjuangan yang berada di bawah panji aqidah LÂ ILLÂHA ILLALLAH MUHAMMADAR RASULULLAH. Dengan kata lain perjuangan yang berperspektif Islam.
Dalam perjuangan ini, kaum muslimin (termasuk muslimah) berusaha untuk mewujudkan nilai-nilai Islam yang hakiki. Nilai-nilai Islam yang murni tanpa adanya noda-noda asing yang akan mencemari nilai Islam. Nilai ini tentu saja bukan nilai yang absurd, akan tetapi merupakan nilai yang pasti akan membawa kaum muslimin sampai pada suatu bentuk kehidupan yang sesuai dengan tuntunan ilahi. Dalam perjuangannya tak pernah ada kata sepakat dengan nilai-nilai asing. Dengan kata lain tidak ada kata kompromi ataupun akomodasi dengan nilai-nilai yang datang dari luar Islam, sekalipun nilai asing tersebut nampak baik luarnya. Sebab ukuran kebaikan tidak bisa dilihat dari luarnya, akan tetapi hanya dapat dilihat dari ideologi yang mendasarinya.
Oleh karena itu, bukan sesuatu yang tidak mungkin, jika kaum muslimin selalu bercita-cita mewujudkan nilai-nilai islam dalam kehidupannya. Bukan pula hal yang mustahil untuk menolak setiap bentuk nilai-nilai asing yang bertentangan dengan nilai Islam.
Akhirnya hanya kembali kepada aqidah Islamiyah, kaum muslimin dapat mencapai kemuliaan yang hakiki.
terima kasih jazakallah telah membacanya
wassalamualaikum.wr.wb
Sumber: http://www.islamuda.com/?imud=rubrik&menu=baca&kategori=7&id=551